|
||||||||||
[ 17-11-2016 ]
Menerima Nasib dan Memenuhi Takdir dengan Piala AFF | Judi Bola Online | Agen Bola Terpercayajudi bola online, judi bola online, judi bola online, agen bola terpercaya, agen bola terpercaya, agen bola terpercaya. Bagi negara-negara di Asia, Piala Dunia masih jauh dari genggaman. Iran saja yang merupakan negara peringkat pertama Asia di FIFA saat ini (November 2016), masih kesulitan bersaing dengan kekuatan-kekuatan sepakbola dunia seperti Jerman, Brasil, Spanyol, Argentina, dan yang lainnya. Hal yang sama juga berlaku bagi Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Arab Saudi, yang merupakan negara-negara AFC yang tergolong langganan masuk ke Piala Dunia. Melihat peta kekuatan sepakbola, konfederasi sepakbola Benua Asia (AFC) sebenarnya memiliki luas wilayah terluas dengan setengah populasi dunia berada di dalamnya. Sebanyak 47 anggota negara hanya memperebutkan 4 atau 5 jatah lolos ke Piala Dunia yang berisikan 32 negara. Bandingkan dengan Eropa (UEFA) yang beranggotakan 55 negara dan memiliki 13 jatah di Piala Dunia 2018 nanti (14 dengan tuan rumah Rusia); atau Amerika Selatan (CONMEBOL) yang hanya beranggotakan 10 negara tetapi memiliki 4 atau 5 jatah di Piala Dunia 2018. Ini sepertinya tidak adil. Tapi sejujurnya, apa mau dikata, kalau babak final Piala Dunia lebih banyak beranggotakan negara-negara dari AFC, CAF (Afrika), atau OFC (Oseania) dibandingkan dengan UEFA, bisa jadi Piala Dunia tidak akan berlangsung dengan kompetitif dan menarik. Dengan latar belakang seperti itulah yang menjadikan banyak negara, khususnya di AFC dan CAF, mecoba menerima nasib dan memenuhi takdir mereka dengan kompetisi yang lebih rendah daripada Piala Dunia, misalnya dengan Piala Asia (AFC Asian Cup) dan Piala Afrika (African Cup of Nations). Sialnya, bagi negara yang reputasinya lebih kecil lagi, seperti Indonesia, Piala Asia saja masih jauh dari jangkauan (jangan ngomongin Piala Dunia dulu, ya). Lalu bagaimana caranya bagi Indonesia untuk \"menerima nasib\"-nya? Kehadiran Kejuaraan Regional sebagai Pelipur Lara Di saat seperti ini lah kita sebagai rakyat Indonesia harus bersyukur dengan kehadiran Piala AFF (ASEAN Football Federation). Turnamen ini hadir sebagai kejuaraan regional (atau sub-konfederasi) di wilayah Asia Tenggara (ASEAN). Bisa dibayangkan bagaimana kecilnya cakupan kejuaraan ini. Kalau ingin disejajarkan secara gengsi, Piala AFF setara dengan kejuaraan regional lainnya. Hanya ada 10 kejuaraan regional di dunia. Piala AFF, bersama dengan Piala Asia Barat (EAFF E-1 Football Championship), Piala Asia Selatan (SAFF Championship), dan Piala Asia Barat (WAFF Championship), merupakan kejuaraan regional dari AFC. CAF (Afrika) juga memiliki empat kejuaraan regional, yaitu CECAFA Cup (untuk negara-negara Afrika Timur dan Tengah), CEMAC Cup (Republik Demokratik Kongo, Chad, Guinea Khatulistiwa, Kamerun, Gabon, dan Republik Afrika Tengah), COSAFA Cup (negara-negara Afrika Selatan), dan WAFU Nations Cup (negara-negara Afrika Barat). Sedangkan dua kejuaraan regional lainnya berasal dari Konfederasi Amerika Utara, Tengah, dan Karibia (CONCACAF), yaitu Copa Centroamericana (negara-negara Amerika Tengah) dan Caribbean Cup (negara-negara Kepulauan Karibia). OFC sempat memiliki dua kejuaraan regional, yaitu Piala Melanesia dan Piala Polynesia, tapi kedua kompetisi tersebut sudah ditiadakan sejak tahun 2000. Sementara UEFA dan CONMEBOL tidak memiliki kejuaraan regional. Status Piala AFF di Mata FIFA Meskipun Piala AFF patut disyukuri, sayangnya nasib Indonesia di kejuaraan regional tersebut pun terbilang tidak memuaskan. Dari 10 kali gelaran Piala AFF, yang dahulu bernama Piala Tiger, Indonesia belum pernah sekalipun menjadi juara. Tim Garuda hanya mampu empat kali menjadi runner-up. Thailand, Singapura, Thailand, Thailand, Singapura, Singapura, Vietnam, Malaysia, Singapura, dan Thailand, adalah daftar juara Piala AFF sejak 1996 sampai 2014 yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali (kecuali tahun 2006 tidak ada, diganti dengan 2007). Ada 12 negara anggota di AFF yang memperebutkan piala ini. Tapi kita mungkin bisa menganggapnya 11 saja, karena Australia tidak kunjung berpartisipasi di Piala AFF meskipun mereka sudah bergabung menjadi negara anggota AFF pada 26 Agustus 2013. Melihat pamor turnamen ini, tidak heran FIFA, sebagai organisasi sepakbola tertinggi di dunia, awalnya tidak menganggap Piala AFF sebagai turnamen resmi yang diakui. Tapi beberapa hari yang lalu kita sempat membaca jika Piala AFF 2016 akan naik kelas dan diakui oleh FIFA. Namun setelah kami telusuri lebih lanjut, ternyata hal ini memang hanya sebatas pengakuan. FIFA menyebut bahwa turnamen ini diakui sebagai turnamen internasional kategori A. Menyebut Piala AFF sebagai turnamen internasional kategori A FIFA tidak lantas membuat turnamen ini setara dengan pertandingan kualifikasi Piala Dunia atau kualifikasi kompetisi tingkat konfederasi benua (memiliki koefisien 2,5), setara dengan kompetisi tingkat konfederasi benua atau Piala Konfederasi FIFA (koefisien 3,0), atau apalagi setara dengan pertandingan di Piala Dunia (koefisien 4,0). Pengakuan ini hanya membuat Piala AFF masuk ke dalam agenda atau kalender FIFA, tapi hanya dihitung memiliki koefisien (multiplier) senilai 1,0 atau setara dengan pertandingan persahabatan. Tapi tetap saja, meskipun tingkat pengakuannya rendah, kehadiran Piala AFF patut disyukuri untuk negara-negara Asia Tenggara agar kita bisa setidaknya lebih sedikit memperbaiki peringkat FIFA kita. Memenuhi Takdir dan Berharap Naik Kelas Keengganan Australia mengikuti Piala AFF bisa menjadi refleksi bagi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Berada di peringkat ke-40 dalam ranking FIFA, Australia adalah negara terbaik kedua se-Benua Asia (di bawah Iran di peringkat ke-27 dunia), dan tentunya di atas kertas, terkuat di Asia Tenggara. Di bawah Australia ada Filipina, tapi mereka terlampau jauh peringkatnya, yaitu peringkat 124. Sementara Indonesia saat ini berada di peringkat ke-179 (ketiga dari bawah di Asia Tenggara). Jadi, apakah ini merupakan kabar baik atau kabar buruk bagi negara-negara AFF? \"Kesempatan ini akan dimanfaatkan untuk memajukan sepakbola Asia Tenggara dan juga Indonesia. Tentu ada positif dan negatifnya. Terjadi persaingan yang tambah berat. Pada Kongres AFF ini juga membahas program-program dan kegiatan AFF,\" ujar Djohar Arifin Husin,yang pada 2013 masih menjabat sebagai ketua PSSI, sambil setengah berdalih. Sejujurnya bagi Australia, meskipun tetap dihitung penentuan peringkat FIFA, mereka cenderung akan membuang-buang waktu dan tenaga jika berkompetisi di Piala AFF yang dilangsungkan pada periode November-Desember. Belum lagi jika kita melihat jadwal kejuaraan ini yang bentrok dengan A-League (Liga Australia) dan juga banyaknya pemain Australia yang berlaga di liga-liga Eropa. Jadi, kecuali bagi Australia, negara-negara di AFF harus peduli dengan Piala AFF. Kejuaraan ini adalah penentu gengsi negara-negara di Asia Tenggara yang sejujurnya tidak (atau belum) bisa berbuat banyak di Benua Asia apalagi dunia. Jangan sungkan atau malu juga, Thailand selalu serius di Piala AFF, Irak dan Iran selalu serius di Piala Asia Barat, bahkan Jepang dan Korea Selatan sekalipun selalu serius di Piala Asia Timur.
Jika kita sudah bisa menerima nasib kita di atas, kita hanya tinggal mengalahkan tetangga-tetangga kita untuk memenuhi takdir menjuarai Piala AFF. Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan, baru kita boleh berbicara soal tingkat Piala Asia. Walau sesungguhnya, berbicara kualitas tim nasional, Piala AFF memang menyadarkan kita jika Piala Dunia itu masih sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jauh dari genggaman negara kita, Indonesia. Kecuali jika Indonesia berhasil menjadi tuan rumah. judi bola online, judi bola online, judi bola online, agen bola terpercaya, agen bola terpercaya, agen bola terpercaya. |
||||||||||